Busantarasatu.id Pemimpin Negara Muslim – Indonesia, dinilai oleh Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, bisa menjadi pemimpin di kalangan negara-negara Muslim di dunia. Dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, ia menyatakan, Indonesia adalah negara muslim terbesar dan juga merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Sehingga, Indonesia bisa menjadi pemimpin di kalangan negara-negara Muslim, sekaligus menjadi pemimpin di negara-negara demokrasi.
Lebih lanjut ia menambahkan, bila dikaitkan dengan perebutan pengaruh antara pakta militer baru Australia, Inggris, dan AS (AUKUS) dengan China, Indonesia harus menjadi pemimpin dan menolak menjadi ‘ekor’. Menurutnya, Indonesia tidak layak menjadi ‘ekor’ dalam konflik maupun polarisasi yang terjadi di dunia. Indonesia sambungnya, adalah negara yang didesain untuk berada di tengah-tengah, baik secara geografis maupun nilai. ” Karena itu, Indonesia lebih cocok menjadi pemimpin. ” tegasnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Fahri dalam Webinar Moya Institute bertajuk ‘Perebutan Pengaruh di Kawasan Pascakapitulasi AS dari Afghanistan’. Bila merujuk pada Buku Samuel Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order lanjut Fahri Hamzah, telah terjadi konflik peradaban antara peradaban barat dengan nonbarat. Indonesia kata Fahri, berada di tengah-tengah seluruh kutub itu dari segala segi.
Indonesia Selalu Netral Dalam Konflik dan Polarisasi di Dunia
Sementara itu pada kesempatan sama, diungkapkan oleh pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, bahwa Indonesia selayaknya menganut politik luar negeri bebas aktif dalam konstelasi politik dunia. Sehingga dengan begitu, Indonesia selalu netral dalam konflik maupun polarisasi di dunia. Lagi pula Indonesia bisa bersahabat dengan negara manapun.
Walau demikian ia turut mengingatkan, politik luar negeri bebas aktif itu dipegang oleh Indonesia selama Indonesia tidak diganggu kepentingan nasionalnya. ” Ketika Indonesia sudah diganggu kepentingan nasionalnya, maka kita harus berhadapan dengan siapa pun pengganggu itu. ” terangnya.
Kemudian iapun mencontohkan kebijakan Presiden Jokowi, saat ini, Indonesia memang menjalin hubungan ekonomi erat dengan China. Namun, ketika Laut Natuna Utara diganggu oleh China, maka Presiden Jokowi tegas berhadapan dengan China. ” Demikian pula terhadap Amerika Serikat. Kita bersahabat dengan Amerika, tapi ketika militer Amerika, Australia, dan Inggris itu bermanuver, Presiden Jokowi perlu menentang hal itu karena bisa memicu perlombaan senjata di Asia Pasifik. ” pungkasnya.