Nusantarasatu.id – Serius kembangkan energi bersih (green energy) sebagai bagian dari program bisnis jangka panjangnya, PT Pertamina (Persero) membuktikan dengan menandatangani empat nota kesepahaman atau MoU (Memorandum of Understanding) dengan mitra bisnisnya. Disebutkan oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pihaknya melakukan kajian dan penjajakan kerja sama untuk pengembangan upaya-upaya menuju netralitas karbon dari aspek teknologi, energi ramah lingkungan, offset emisi, dan potensi kolaborasi lainnya. ” Nota kesepahaman tersebut merupakan bentuk realisasi untuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, dan juga menunjukkan bagaimana G20 bisa mendorong realisasi dari apa yang telah dicanangkan. ” jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (19/1/2022).
Nota Kesepahaman itu sendiri ditandatangani pada Selasa (18/1/2022) kemarin, bertepatan dengan agenda Stakeholders Consultation oleh The Business 20 (B20) Task Force Energy, Sustainability, and Climate yang dipimpin langsung oleh Nicke Widyawati. Dalam nota kesepahaman pertama, Pertamina dan Jababeka bersepakat untuk melakukan kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan green industrial estate, yang di dalamnya akan mencakup pasokan gas, penyediaan pasokan listrik dari energi baru terbarukan, riset dan inovasi.
Kemudian, Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) juga berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan clean-LNG dan clean-gas dari terminal LNG Bontang. Adapun langkah kerja sama ini bertujuan untuk bersama-sama mengembangkan usaha memproduksi LNG yang bersih secara fisik, bebas karbon di Terminal Bontang. Termasuk pula offset melalui kredit karbon yang dapat diberikan oleh gas atau LNG yang bersih secara fisik yang diproduksi di Indonesia.
Pertamina Serius Kembangkan Green Energy, Sepakati MoU Dengan Chiyoda Corporation
Selain itu, Pertamina juga menyepakati nota kesepahaman dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) untuk melakukan kerja sama studi aplikasi teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS), dan produksi hidrogen. Langkah ini sebagai upaya mendukung penurunan emisi melalui pengembangan energi baru terbarukan, sekaligus untuk mencapai netralitas karbon dan mempromosikan climate goals.
Berikutnya, perseroan juga melakukan kerja sama dengan PT Grab Teknologi Indonesia dan PT Sepeda Untuk Indonesia lewat anak usahanya PT Pertamina New & Renewable Energi (PNRE) dan Subholding Commercial & Trading (C&T). Kerjasama ini dilaksanakan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, terkhusus bisnis baterai dan sistem penukaran baterai sampai peningkatan desain kendaraan listrik. ” Ada 4 kerja sama yang kami tanda tangani. Ini semua adalah mendukung program pemerintah untuk mencapai net-zero emissions di tahun 2060 dan yang medium term-nya adalah menurunkan karbon emisi di tahun 2030 antara 29 persen sampai 41 persen. “ terang Nicke.
Lebih lanjut dirinya menambahkan, bahwa agenda Stakeholders Consultation oleh B20 itu mengangkat tema terkait inovasi, inklusivitas, dan kolaborasi. Ia menilai, jika ketiga hal ini harus direalisasikan guna mewujudkan target pemerintah udalam rangka mencapai netralitas karbon. ” Oleh karena itu dengan penandatanganan ini kami pun membuka kerja sama tersebut. ” ujarnya.
Selama ini sambung Nicke, terdapat dua hal yang menjadi masalah kritis yang membuat peningkatan energi baru terbarukan menjadi berjalan tidak secepat yang diharapkan. Persoalan pertama yaitu teknologi, di mana Indonesia memiliki sumber energi yang sangat besar, namun masih memerlukan teknologi dan melakukan inovasi serta kreativitas yang mampu memproses sumber daya itu menjadi sumber energi yang ramah lingkungan. Sedangkan yang kedua lanjut Dirut Pertamina, yakni akses pendanaan yang juga menjadi salah satu isu. Untuk itu, di B20 ada task force khusus membahas tentang pendanaan, salah satunya adalah green funding yang membahas terkait pengembangan dan peningkatan energi baru terbarukan.
Harga Energi Baru Terbarukan Masih Lebih Tinggi Dibanding Energi Fosil
Pada kesempatan yang sama Nicke turut membahas soal affordability atau kemampuan finansial terkait dengan transisi energi. Ia berpendapat, dengan pengembangan teknologi yang sudah terjadi, membuat energi baru terbarukan dinilai masih lebih tinggi harganya dibanding dengan energi fosil. ” Jadi affordability ini menjadi fokus pembahasan yang sangat penting karena ini bukan hanya harga dari energi itu sendiri, tetapi juga perubahan ke arah renewable energy ini akan mendorong juga ke arah daya beli masyarakat. ” ucapnya.
Oleh karena itu kata Nicke, yang harus dilakukan saat ini ialah membuat program yang mampu menyeimbangkan hal-hal tersebut. Tujuannya, supaya target pemerintah untuk netralitas karbon pada tahun 2060 mendatang bisa terwujud. ” Ini tugas kita bersama untuk merumuskannya. Karena selain inovasi, kolaborasi dengan negara-negara maju yang mereka sendiri mengalokasikan sebagian dana untuk pengembangan renewable energy dan mendorong transisi energi di negara berkembang, ini pun harus kita bahas. ” tutur Nicke Widyawati.
Bukan hanya tentang bisnis besar ungkapnya, terkait UMKM di negara berkembang juga harus dipertimbangkan. Menurutnya, rekomendasi kebijakan yang akan diusulkan nanti harus berdampak baik terhadap sektor UMKM. Sebab, lebih dari 90 persen tenaga kerja Indonesia diserapnya di sektor UMKM, dan kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional sekitar 64 persen. ” UMKM merupakan faktor penting karena ini menjadi kekuatan negara berkembang termasuk Indonesia ketika menghadapi krisis. Kalau UMKM ini bisa stabil maka recovery juga akan semakin cepat. ” pungkasnya.