Christina Aryani Harap Revisi UU ITE Hapus Pasal Multitafsir

Syahrul Ibrahim

Nusantarasatu.id – Berkaitan dengan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diusulkan oleh pemerintah, diharapkan oleh anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani, dapat menghapus pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Ia berpendapat, pasal-pasal multitafsir harus jadi perhatian supaya tidak ada masyarakat yang tercederai oleh UU ITE. “ Selama ini cukup banyak masyarakat tercederai dengan penerapan ketentuan pasal UU ITE, harus dipastikan tidak akan terjadi lagi, masukan publik perlu didengar dengan optimal. ” kata Christina ketika melakukan audiensi dengan Amnesty Internasional Indonesia secara virtual di Jakarta.

Sebagaimana dikutip dari siaran tertulis yang ia sampaikan, dirinya merasa yakin bila revisi UU ITE merupakan upaya pemerintah menjawab berbagai keresahan masyarakat. Menyangkut hal tersebut dikatakan oleh Christina, DPR RI memiliki keinginan yang sama, yakni agar revisi UU ITE nantinya dapat menjawab berbagai persoalan yang dialami oleh publik. Pada pertemuan dengan Amnesty Internasional Indonesia, iapun mencatat sejumlah masukan dari masyarakat soal revisi UU ITE. “ Dari audiensi ini, kami mendapat tambahan masukan apa yang berkembang di masyarakat, apa harapan untuk menjawab kekhawatiran yang ada. Ini akan menjadi catatan kami dalam pembahasan revisi UU ITE. ” ucap Christina.

Keresahan Publik Akan Jadi Catatan Bagi DPR

Lebih jauh dirinya mengaku memahami keresahan yang dialami oleh publik karena ada pasal-pasal karet yang berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang sebenarnya dijamin oleh konstitusi UUD 1945.“ Muncul pertanyaan apakah revisi ini akan membungkam suara-suara kritis atau tidak, apakah revisi akan menjamin kebebasan berekspresi. Ini semua jadi perhatian publik yang menjadi catatan bagi kami di DPR RI. ” imbuhnya.

Oleh karena itu jelasnya, DPR RI mengharapkan, agar upaya merevisi UU ITE yang diusulkan pemerintah, dapat menghasilkan regulasi yang tidak represif. “ Itu kami sepakat, supaya tidak ada masalah multitafsir lagi. Ketentuan pidana itu harus jelas sehingga tidak ditafsirkan macam-macam. ” tuturnya seraya menambahkan, bila pemerintah dan DPR RI perlu membuka ruang yang optimal bagi publik selama pembahasan revisi UU ITE berlangsung.

Leave a Comment